TEPI MAKAM PAHLAWAN
Subuh menjelang, kokok ayam bersahut-sahutan. Hawa dingin
menusuk relung, menggigit tulang para penghuni, dilanda gelisah. Menggerutu.
Betapa hari tak maui membiarkan pulasnya tidur, tarikan selimut rapat-rapat
diikuti paduan suara ngorok bernada sumbang. Komposisi alamiah tanpa
dirijen-partitur, merentak, mengutuk hidup betapa cepatnya pagi menyapa.
Tapi Reza
tak terganggu igauan para tetangga menikmati tidur ditemani nyamuk nakal
penghisap darah, menari-nari selepas kenyang berbagi hidup sepanjang malam.
Seisi penghuni Kampung Sei Lepan, sudut sebuah kota, dibawah Jembatan Kalimati,
tak terganggu bersanding suara riuh sungai kotor, meluap sehabis hujan deras
sepanjang sore hingga malam.
Selepas lafal doa terakhir Reza bangkit, melipat sarung
dengan rapi, meletakkannya ke dalam lemari penuh hati-hati. Tak lupa sajadah
bergambar Ka’bah -warnanya pudar- disimpan dibawah rak baju tak seberapa. Peci
hitam yang dipakainya digantung di dinding sebelah baju sekolahnya. Sarung dan
peci itu, pemberian almarhum ayahnya menjelang lebaran tiga tahun lampau dari
seorang dermawan yang mengadakan sunatan massal gratis dikampungnya. Perlahan
dia keluar dari kamar, berjalan menuju dapur yang menyatu dengan kamar mandi.
Ditengoknya, ibunya sibuk menyiapkan kue-kue, kerupuk ke atas nampan. Reza
jongkok, ikut membungkus kue-kue dan kerupuk hasil masakan ibunya tadi malam.
Ditemani terangnya lampu teplok , Reza dan Ibunya, Ratih bergegas
menyelesaikan bungkusan kue-kue, kerupuk yang berjejer rapi. Takut hari
meninggi, mengusir rezeki ditengah kerasnya hidup yang harus ditaklukkan.
Bersaing dengan waktu terus berjalan. Tak peduli seorang perempuan beranak satu
berjuang mensiasati hidup selepas ditinggal mati suaminya. Hidup adalah
perjuangan. Hasan lincah membungkus kue-kue, mengikatnya erat. Sudah terbiasa
dikerjakan sejak bapaknya tak ada. Kue dan kerupuk harus dijual pagi ini
jikalau tak mau kehilangan rejeki tuk bertahan hidup.
“Sudah
sholat kau Nak?,” kata Ratih lembut, menyapa anaknya.
“Sudah
Mak, kudoakan juga supaya jualan kita laku,” jawabnya lugas, percaya diri
memandang balik ibunya.
Ratih tersenyum getir, sudah empat hari ini dagangannya tak
laku, setengahnya-pun tak habis. Dia elus kepala anaknya penuh ketulusan.
Berusaha tegar walau hatinya sedih, perih mengingat dia harus membesarkan
anaknya sendirian. Berjuang ditengah ganasnya ujian kehidupan yang mendera.
Godaan para lelaki yang ingin mempersunting agar mengakhiri status janda yang
disandangnya. Dia selalu menolak halus tawaran itu. Belum siap melupakan Amir,
suaminya yang mati mengenaskan ketika menyelamatkan seorang anak dikampungnya.
Terbawa banjir sungai yang meluap, menerjang kampung dua tahun silam. Anak yang
ditolongnya selamat sedangkan Amir tak mampu bertahan menuju tepian, kelelahan,
kalah terbawa arus. Tenggelam diantara tumpukan sampah, bongkahan kayu diiringi
jeritan menyaksikan wajah suaminya terakhir kali sebelum hilang ditelan air bah
sungai yang meluap. Esok hari baru ditemukan, mengambang di pintu air, tiga
kilometer dari kampung. Mengingat peristiwa itu, kadang Ratih menitikkan
airmata. Tengah malam, dia tak henti berdoa, bersujud memohon kekuatan Maha
Kuasa membesarkan pangeran hatinya, Reza. Satu-satunya buah cinta bersama
almarhum suaminya. Ya, dia harus kuat. Sapaan Reza menyadarkan lamunannya.
Kue dan kerupuk sudah beres dimasukkan. Sekarang tinggal
berangkat ke tempat Ratih biasa berjualan di samping Taman Makam Pahlawan. Reza
sudah berpakaian sekolah. Dari tempat jualan, dia langsung berangkat ke
sekolah. Pintu rumah dikunci kemudian bergegas berjalan menembus pagi,
mengalahkan dingin tak terperi. Ratih mengangkat nampan diatas kepalanya,
dipegang supaya tak jatuh. Reza ikut membawa kantong berisi kue dan kerupuk
melintasi gang, selokan. Beberapa tikus masih berkeliaran dalam got tak mau
kalah.
****
Sepulang sekolah, Reza langsung ke tempat jualan menemani
ibunya menunggu para pembeli. Bocah berperawakan kurus ini duduk di kelas tiga
sebuah sekolah dasar. Dia siswa yang berprestasi, kerap mendapat juara kelas.
Bahkan membawa harum sekolahnya pada perlombaan baca puisi di kantor Gubernur
minggu lalu. Hasan mengalahkan sekolah yang kerap menjadi langganan juara.
Menurut gurunya, minggu depan dia akan berangkat ke Jakarta mewakili provinsi
di pentas nasional. Bukan main bangganya Reza terlebih ibunya, Ratih mendengar
kabar itu melalui sepucuk surat dari dinas kemarin.
Hari menjelang sore, kue-kue jualannya hampir habis. Sejenak
dia melongok mencari anaknya.
“Reza
dimana kau Nak?,” teriak Ratih memanggil anaknya. Sejak tadi tak kelihatan.
“rezaa
zaa rezaaaaa..!,” teriaknya berulang kali. Nada cemas terlihat dari
panggilannya. Khawatir.
Wajahnya celingukan mencari Reza. Sudah sejam sejak anaknya sampai,
tak kelihatan. Dia sibuk melayani pembeli. Lumayan banyak pembeli hari ini.
Terlupakan anaknya.
“Coba
kau tengok di dalam taman Ratih!, mana tau dia ke sana,” kata Wak Soleh,
pemilik warung rokok sebelah.
Ratih bergegas menuju pagar tembok taman, sambil melihat
cemas arah yang dimaksud Wak Soleh. Ternyata benar Reza berada disana, diantara
jejeran makam, berdiri tegak mematung sambil memperhatikan nisan-nisan bercat
putih. Terawat rapi.
Dia perhatikan anaknya, bingung apa yang dilakukan Reza di dalam
Taman. Bergegas menyusul anaknya ke dalam, setelah menitipkan nampan berisi
beberapa bungkus kue tersisa kepada Wak Soleh. Ratih masuk dari pintu utama,
dia buka engsel pintunya yang tak digembok. Masuk. Perlahan, takut mengagetkan
anaknya.
Reza berdiri memandangi makam-makam itu, dia baca nama-nama
yang tertulis dalam nisan. Berjalan lagi mengitari kompleks makam yang luas.
Berhenti pada sebuah makam tak bernama, tak ada tulisan sama sekali. Hanya
nisan berwarna putih pucat, pudar. Dia bergumam seperti ada sesuatu yang
dibisikinya. Jongkok di depan makam tersebut. Perlahan dia elus nisan makam tak
bernama itu, pelan, berulang, matanya tak lepas mengikuti elusan tangannya.
Berikutnya dia pegang topi dibawah nisan, terbuat dari semen mirip topi tentara
yang sering dia lihat kalau berbaris. Warnanya agak pucat, hitam bahkan topi di
makam sebelahnya sudah berlumut.
Reza tersadar, ibunya sudah berada di samping, berdiri tak
jauh. Tadi melangkah tak kedengaran, hati-hati bagai langkah pencuri. Takut
kepergok.
“Mak,
apa semua yang dikubur disini, pahlawan?,” Tanya Reza membuka percakapan.
“Iya
Nak, semua yang dikubur disini pahlawan,” sahut Ratih.
“Semua?”.
Reza mengulangi pertanyaan kepada ibunya
“Ya,
semua!,” jawab Ratih tegas tak yakin.
Reza termenung, berdiri, memandang ibunya. Matanya
berkaca-kaca. Bibirnya bergetar seperti ingin mengungkapkan sesuatu, tapi tak
bisa. Mulutnya terkunci rapat. Hening kembali. Dia beranikan menatap ibunya
yang mengelus rambutnya, lembut, penuh kasih.
“Mak,
bisakah Bapak dikubur disini?, bisakah Mak?”.
Ratih terkejut tak menyangka anaknya bertanya demikian. Dia
peluk anaknya, tanpa sadar butir air mata mengalir. Reza membenamkan dirinya
dalam pelukan sang ibu. Menangis.
“Bisakah
Mak?”. Suara Hasan berserak, menahan segukan tangis dalam pelukan sayang ibunya
yang ikut menangis pula.
“Bukankah
Bapak juga seorang pahlawan?” “Kata Mak dan orang sekampung, Bapak mati karena
menyelamatkan orang di sungai. Mereka bilang Bapak Pahlawan”. Kali ini tangis Reza
lebih kencang. Deraian air mata ibu dan anak saling bertaut dihadapan makam
terbentang bisu.
“Bisakah
Bapak Reza dikubur disini, Mak?,”.
Ratih
hanya menangis, memeluk anaknya erat bagai takut kehilangan, tak memberi
jawaban. Dia cium kepala anaknya dengan air matanya.
Reza
berjanji kepada dirinya dan ibunya bahwa ia akan mengikuti jejak bapaknya yang
memiliki jiwa kepahlawanan, Reza juga berjanji bahwa ia akan terus menjagga
ibunya dan menghargai ibunya.
“Mak
Reza akan terus berusaha berbuat baik kepada semua orang, dan berusaha
membantu, menolong, menyelamatkan orang yang membutuhkan bantuan Reza mak
walaupun itu taruhan nyawa Reza mak, Reza akan seperti bapak. Dialah pahlawan
hidupku mak “ Ibunya pun terus meneteskan air matanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar